Pengantar Karya oleh
Suwarno Wisetrotomo
Sendau Gurau itu
Serius!
Sendau Gurau itu
Serius!
3 minutes read
Pernyataan Ary Okta atau lengkapnya Ary Trisna Oktavierasasi (kelahiran Tulungagung, 19 Oktober 1973), perempuan perupa (lulusan S1 Jurusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta; S2 Program Studi Seni Urban dan Industri Budaya IKJ), justru menjadi fokus perhatian saya. Ary menyebut pameran tunggalnya kali ini sebagai “Sendau Gurau”. Praktik sendau gurau dalam pengertian keseharian adalah kerumunan/sekumpulan kawan yang hanya bercanda, kelakar, seloroh, olok-olok, seringkali dalam bentuk mempermainkan. Gurauan berdampak pada uji nyali; ujian mental, seberapa baik bahan gurauan, seperti apa respon kerumunan, seberapa baik olok-olok yang disampaikan, dan seperti apa respon yang dijadikan sasaran. Kemampuan bertukar tangkap canda-tawa, akan membantu penguatan mental. Salah satu cara efektif terhindar dari sikap baperan.
Melampaui sekadar candaan, sendau gurau dalam perspektif Ary Okta adalah “pendekatan”. Seolah-olah tampak seperti tindakan dan laku remeh-temeh, tetapi sesungguhnya tengah mengirim pesan amat serius. Bacalah catatannya dalam katalog ini (Dari Ary Okta). Perhatikan kalimat pertama, “Dalam beberapa dekade terakhir, masalah lingkungan hidup telah berkembang menjadi isu global yang tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tetapi juga kehidupan manusia itu sendiri”. Ya, ini soal amat sangat serius, karena sesungguhnya tidak lagi sekadar isu, tetapi sudah menggumpal dalam wujud kerusakan lingkungan dan terakumulasi menjadi krisis iklim yang ekstrim. Warga masyarakat yang pertama-tama menjadi korban, karena nyaris tidak pernah ada mitigasi untuk menghadapi turbulensi iklim ini. Di sisi yang lain, mereka yang punya kuasa (jumlahnya tentu lebih kecil) terus merekayasa kebijakan yang ujungnya, sebagian besar, adalah kerusakan lingkungan. Praktik penambangan (emas, batubara, minyak, pasir laut, dll), pembabatan hutan (apapun alasannya, termasuk dibalut dengan nama mentereng seperti food estate), tetap saja berwatak ekstraktif dengan daya rusak yang sangat tinggi serta berbahaya bagi keselamatan semesta. Keselamatan semesta artinya keselamatan manusia, dan wujud tanggung jawab bagi generasi pewaris.
Ary Okta juga menunjuk salah satu penyumbang bencana ekologi yang serius: sampah plastik.
Sudah sangat banyak orang atau institusi bicara perkara ini; inisiasi pengolahan seperti recycling (recycle, reuse, reduce), upcycling (dalam berbagai metode dan hasil wujudnya); berbagai riset (mahasiswa S1, S2, S3), inisiasi dalam bingkai economy circular dengan pengertian yang sangat ideal “sistem di mana material tidak pernah menjadi limbah dan alam diregenerasi”. Pertanyaannya, ekosistem seperti apakah yang mampu mewujudkan ide-ide dengan jargon indah itu menjadi realitas yang sistemik? Mengapa penggunaan dan sampah plastic justru semakin brutal? Pertanyaan ini penting dijelmakan menjadi gugatan, sekaligus ide-ide untuk menemukan solusi.
Bersuara Canda Melalui Pitik
Merawat semesta adalah ibadah; harus terus disuarakan, harus terus dipraktikkan secara konsisten. Itulah cara Ary Okta bersuara/menyuarakan gagasannya; melalui sosok ayam (Jawa: Pitik). Badan dan kaki ayam, kata Okta, berani menerjang apa pun yang ada di depannya, sebagai modal pergerakan. “Pitik selalu dekat dengan tanah” kata Okta, yang merawat kelangsungan sirkulasi organik. Itulah tumpuan dasar penciptaan karya-karyanya (lukisan dan instalasi).
Pemikiran dan laku kreatifnya bertumpu pada realitas amat serius: perilaku manusia dan dampaknya bagi semesta serta kehidupan. Sendau gurau menjadi metode untuk menyuarakan yang serius. Menggunakan idiom keseharian yang ia akrabi, ayam, bahkan dia sebut pitik. Ngingu pitik – memelihara ayam – bukan dalam pengertian “industri/peternak”, bagi masyarakat biasa memiliki fungsi berlapis matra; kesenangan, kegembiraan, tabungan, bahkan bagian kecil dari kemandirian pangan (telur, daging). Okta mengirim pesan kepada kita semua – melalui karya-karyanya yang sederhana dalam wujud lanskap mikro, rumah- rumah, pepohonan, perdu, pitik-pitik dalam berbagai suasana: mari merawat semesta, melalui cara-cara sederhana, dari diri sendiri, diamplifikasi, digemakan, menulari banyak kawan, demi keberlanjutan kehidupan.
Alam terkembang jadi guru. Selebihnya, siapa pun harus mampu membacanya, mengambil inspirasinya, untuk dijadikan titik tumpu pergerakan. Ary Okta, teruslah bersendau gurau sembari merumuskan langkah-langkah, dan menebarkannya ke segala penjuru mata angin.
Pernyataan Ary Okta atau lengkapnya Ary Trisna Oktavierasasi (kelahiran Tulungagung, 19 Oktober 1973), perempuan perupa (lulusan S1 Jurusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta; S2 Program Studi Seni Urban dan Industri Budaya IKJ), justru menjadi fokus perhatian saya. Ary menyebut pameran tunggalnya kali ini sebagai “Sendau Gurau”. Praktik sendau gurau dalam pengertian keseharian adalah kerumunan/sekumpulan kawan yang hanya bercanda, kelakar, seloroh, olok-olok, seringkali dalam bentuk mempermainkan. Gurauan berdampak pada uji nyali; ujian mental, seberapa baik bahan gurauan, seperti apa respon kerumunan, seberapa baik olok-olok yang disampaikan, dan seperti apa respon yang dijadikan sasaran. Kemampuan bertukar tangkap canda-tawa, akan membantu penguatan mental. Salah satu cara efektif terhindar dari sikap baperan.
Melampaui sekadar candaan, sendau gurau dalam perspektif Ary Okta adalah “pendekatan”. Seolah-olah tampak seperti tindakan dan laku remeh-temeh, tetapi sesungguhnya tengah mengirim pesan amat serius. Bacalah catatannya dalam katalog ini (Dari Ary Okta). Perhatikan kalimat pertama, “Dalam beberapa dekade terakhir, masalah lingkungan hidup telah berkembang menjadi isu global yang tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tetapi juga kehidupan manusia itu sendiri”. Ya, ini soal amat sangat serius, karena sesungguhnya tidak lagi sekadar isu, tetapi sudah menggumpal dalam wujud kerusakan lingkungan dan terakumulasi menjadi krisis iklim yang ekstrim. Warga masyarakat yang pertama-tama menjadi korban, karena nyaris tidak pernah ada mitigasi untuk menghadapi turbulensi iklim ini. Di sisi yang lain, mereka yang punya kuasa (jumlahnya tentu lebih kecil) terus merekayasa kebijakan yang ujungnya, sebagian besar, adalah kerusakan lingkungan. Praktik penambangan (emas, batubara, minyak, pasir laut, dll), pembabatan hutan (apapun alasannya, termasuk dibalut dengan nama mentereng seperti food estate), tetap saja berwatak ekstraktif dengan daya rusak yang sangat tinggi serta berbahaya bagi keselamatan semesta. Keselamatan semesta artinya keselamatan manusia, dan wujud tanggung jawab bagi generasi pewaris.
Ary Okta juga menunjuk salah satu penyumbang bencana ekologi yang serius: sampah plastik.
Sudah sangat banyak orang atau institusi bicara perkara ini; inisiasi pengolahan seperti recycling (recycle, reuse, reduce), upcycling (dalam berbagai metode dan hasil wujudnya); berbagai riset (mahasiswa S1, S2, S3), inisiasi dalam bingkai economy circular dengan pengertian yang sangat ideal “sistem di mana material tidak pernah menjadi limbah dan alam diregenerasi”. Pertanyaannya, ekosistem seperti apakah yang mampu mewujudkan ide-ide dengan jargon indah itu menjadi realitas yang sistemik? Mengapa penggunaan dan sampah plastic justru semakin brutal? Pertanyaan ini penting dijelmakan menjadi gugatan, sekaligus ide-ide untuk menemukan solusi.
Bersuara Canda Melalui Pitik
Merawat semesta adalah ibadah; harus terus disuarakan, harus terus dipraktikkan secara konsisten. Itulah cara Ary Okta bersuara/menyuarakan gagasannya; melalui sosok ayam (Jawa: Pitik). Badan dan kaki ayam, kata Okta, berani menerjang apa pun yang ada di depannya, sebagai modal pergerakan. “Pitik selalu dekat dengan tanah” kata Okta, yang merawat kelangsungan sirkulasi organik. Itulah tumpuan dasar penciptaan karya-karyanya (lukisan dan instalasi).
Pemikiran dan laku kreatifnya bertumpu pada realitas amat serius: perilaku manusia dan dampaknya bagi semesta serta kehidupan. Sendau gurau menjadi metode untuk menyuarakan yang serius. Menggunakan idiom keseharian yang ia akrabi, ayam, bahkan dia sebut pitik. Ngingu pitik – memelihara ayam – bukan dalam pengertian “industri/peternak”, bagi masyarakat biasa memiliki fungsi berlapis matra; kesenangan, kegembiraan, tabungan, bahkan bagian kecil dari kemandirian pangan (telur, daging). Okta mengirim pesan kepada kita semua – melalui karya-karyanya yang sederhana dalam wujud lanskap mikro, rumah- rumah, pepohonan, perdu, pitik-pitik dalam berbagai suasana: mari merawat semesta, melalui cara-cara sederhana, dari diri sendiri, diamplifikasi, digemakan, menulari banyak kawan, demi keberlanjutan kehidupan.
Alam terkembang jadi guru. Selebihnya, siapa pun harus mampu membacanya, mengambil inspirasinya, untuk dijadikan titik tumpu pergerakan. Ary Okta, teruslah bersendau gurau sembari merumuskan langkah-langkah, dan menebarkannya ke segala penjuru mata angin.
Suwarno Wisetrotomo
Dosen di FSRD & Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Juga mengajar di PSPSR dan Prodi Kajian Budaya dan Media (KBM)
Sekolah Pascasarjana UGM.
Aryokta.com
Aryokta.com